top of page

Solid Gold | Mengapa Aplikasi Telegram Disukai Teroris?

PT SOLID GOLD BERJANGKA - “Privasi pada akhirnya lebih penting ketimbang ketakutan kita akan hal buruk yg bisa terjadi, spt terorisme,” begitu kata Pavel Durov, pendiri sekaligus CEO layanan pesan Instan Telegram, ketika berbicara dalam acara TechCrunch Disrupt, September 2015 lalu.

Dia menanggapi pertanyaan dari audiens, soal teroris yg gemar memakai Telegram untuk berkomunikasi & mengoordinir aksi teror lewat aplikasi pesan instan tersebut.

Telegram dipandang “aman” lantaran obrolan para penggunanya tak bisa disadap.

Durov sendiri ketika itu sudah tahu bahwa ada aktivitas grup teroris negara Islam Irak & Suriah (ISIS) di Telegram.

Tapi dia bersikeras menjunjung tinggi faktor keamanan privasi yg memang sudah lekat & menjadi ciri khas Telegram semenjak dirilis empat tahun lalu.

“Kami tak harus merasa bersalah. Kami melakukan hal yg benar, yakni melindungi privasi pengguna,” imbuh Durov.

Entah ada kaitannya atau tidak, hanya dalam waktu sebulan setelah Durov menyampaikan statement, pada Oktober 2015, jumlah follower channel Telegram yg dioperasikan oleh ISIS tercatat naik dua kali lipat menjadi 9.000 pengguna.

Layanan chatting ini kemudian berulang kali dipakai sbg medium komunikasi & koordinasi para pelaku terorisme dalam melancarkan aksinya di berbagai belahan dunia.

Telegram, antara lain, digunakan untuk berkomunikasi oleh pelaku serangan di Paris pada 2015, serangan malam tahun baru 2017 di Turki, & serangan di St. Petersburg pada April 2017.

Di Indonesia, sejumlah tersangka terorisme yg ditangkap pada Desember 2016 mengaku belajar membuat bom dgn mengikuti arahan lewat Telegram.

Sebuah studi yg dirilis beberapa waktu lalu mengungkapkan bahwa Telegram menjadi platform komunikasi pilihan untuk para pelaku terorisme, spt grup ISIS & Al-Qaeda.

Tetapi ada apa di balik kesukaan mereka terhadap Telegram?

Semenjak awal, Layanan chatting tersebut diketahui selalu mengedepankan diri sbg platform messaging yg aman dari intipan pihak lain.

Fiturnya dalam hal ini termasuk enkripsi end-to-end yg mencegah pesan dicegat & dibaca, kecuali oleh pengirim & penerima.

Keunikan Telegram dalam hal privasi & sekuriti membuatnya berhasil merengkuh hingga 100 juta pengguna pada 2016.

Namun, Jade Parker, peneliti senior dari grup riset TAPSTRI yg berfokus pada penggunaan internet oleh teroris, mengungkapkan bahwa enkripsi penjamin kerahasiaan bukanlah satu-satunya faktor yg menarik teroris ke platform Telegram.

Enkripsi telah ikut diterapkan penyedia layanan sejenis spt WhatsApp, namun Telegram masih berada selangkah di depan karena menyediakan berbagai fasilitas lain untuk memudahkan komunikasi, baik yg bersifat rahasia ataupun terbuka, dari individu ke individu ataupun menarget kalangan yg lebih luas.

Channels di Telegram misalnya, bersifat terbuka untuk publik & bebas diikuti oleh pengguna lain (follower).

Karena itu pula, channels sering digunakan oleh teroris sbg sarana untuk menyebar propaganda, dgn cara broadcast konten.

Ada jg groups, private message, & Secret Chat.

Fitur yg disebut terakhir ini terbilang istimewa karena menerapkan enkripsi client-to-client.

Semua pesan yg terkirim dienkripsi dgn protokol MTProto.

Berbeda dari pesan biasa di Telegram yg bisa diakses dari berbagai perangkat karena berbasis cloud, pesan Secret Chat hanya bisa diakses melalui dua perangkat, yakni perangkat pengirim yg menginisiasi percakapan & perangkat penerima.

Isi percakapan bisa dihapus kapan pun, atau diatur agar terhapus secara otomatis.

Kombinasi beberapa fasilitas berbeda ini, menurut Parker, memudahkan grup teroris spt ISIS dalam memakai Telegram sbg “pusat komando & kendali”.

Seorang teroris, misalnya, bisa memperoleh video sebuah serangan teror lewat Secret Chat, lalu menyebarkannya ke follower di Channel sbg propaganda.

“Mereka berkumpul di Telegram, lalu pergi ke platform lain yg berbeda-beda."

"Informasinya dimulai di Telegram, lalu menyebar ke Twitter & Facebook,” ujar Parker.

Comments


Search By Tags
Follow "THIS JUST IN"
  • Facebook Basic Black
  • Twitter Basic Black
  • Black Google+ Icon
bottom of page